Sumber gambar :https://anglingkemenangan.wordpress.com |
Mengucapkan terima kasih bagi kita masyarakat Indonesia pada umumnya adalah menjadi kebiasaan, apabila mendapat bantuan pihak lain. Dalam persfektif budaya, hal demikian memberi penekanan etik moral tinggi masyarakat Indonesia, sementara dalam persfektif agama, hal demikian memberi indikasi nilai religious seseorang yang tergolong tinggi, sebagai pengamalan ajaran agama, baik dalam konteks hablumminallah maupun hablumminannas.
Tapi dalam perkembangannnya, terima kasih bagi sebagian orang bergeser dari makna hakikinya. Terima kasih yang sebelumnya bermakna “ikhlas” berubah menjadi “bermaksud tertentu”. Banyak fakta menunjukkan, di beberapa pelayanan publik, mengurus administrasi ucapan terima kasih diembel-embeli dengan (maaf) amplop uang, seolah-olah si penerima layanan memiliki hutang jasa kepada pemberi layanan, sayangnya kebiasaan ini masih berlangsung hingga saat ini, publikasi di berbagai lembaga layanan publik yang mengatakan “layanan mereka gratis” tetap saja selalu ada terima kasih. Pernahkah kita memberi penegasan kepada publik, yang menanyakan “berapa pa/bu?” kita menjawab “maaf pak/bu, layanan kami gratis, kami sudah digaji oleh Negara, semoga bapak/ibu puas oleh layanan kami”, alih-alih mendengar pernyataan demikian, yang selalu kita dengar justru “tasarah ja”, yang dengan pernyataan demikian justru membingungkan publik, disatu sisi masyarakat dibuat berpikir keras, apakah memberi sesuatu atau tidak, kalau tidak dianggap kurang ajar dan takut bila nanti mau meminta layanan berikutnya dipersulit atau yang bersangkutan menjadi tidak antusias lagi melayani, dan pilihannya akhirnya “memberi sesuatu” sebagai ucapan terima kasih dengan harapan “yang bersangkutan senang” dan dikemudian hari ketika meminta layanan, yang bersangkutan juga dengan antusias memberi layanan. Dalam persfektif ini, karena masyarakat mengeluarkan uang sebagai ungkapan terima kasih, berarti layanan tersebut dibeli oleh masyarakat, walaupun dengan cara yang tidak legal, bagaimana pandangan hukum dan agama terhadap hal demikian?
Sebelum menjawabnya, bagaimana di bidang pengadaan barang/jasa, agaknya tidak jauh berbeda, apalagi di bulan Desember, sebagai bulan batas akhir waktu pengerjaan dan pencairan pengadaan berbasis tahun anggaran, bagaimana penyedia mengucapkan terima kasih kepada pengguna anggaran (PA), PPK, Pokja ULP, dan kepada PPHP, bahkan kepada pihak-pihak yang dianggap membantu penyedia dalam melakukan pengadaan barang/jasa yang diperolehnya. Bentuknya pun bisa bermacam-macam, berupa hadiah atau bahkan uang, kalau sebelum pekerjaan dilaksanakan/dimenangkan bisa dikategorikan suap tapi kalau setelah selesai pekerjaan biasa dikenal “ucapan terima kasih”. Beberapa pihak berpendapat “toh tidak ada salahnya berbagi keuntungan yang penyedia dapatkan yang besarnya 10-15% kepada para pihak yang terlibat.” Pertanyaannya, apakah sebegitu dermawan penyedia yang mau berbagi secara ikhlas tanpa ada tujuan tertentu, kalau mau berbagi dalam tuntunan agama sudah jelas para pihak yang berhak untuk disantuni (anak yatim, fakir miskin dan masyarakat marginal yang membutuhkan lainnya), sementara aparatur negara seperti PA, PPK, Pokja ULP dan PPHP adalah kelompok masyarakat berkategori mampu dan mereka sudah digaji oleh Negara. Pertanyaan berikutnya, apakah benar yang dibagi-bagi sebagai ucapan terima kasih adalah keuntungan 10-15% yang penyedia dapatkan, apakah tidak bersumber dari “permainan sisit manyisit” berbagai pengadaan yang dikendalikannya, sehingga jangan heran kalau kemudian barang/jasa yang dihasilkan tidak sesuai ketentuan, mutu yang direndahkan, ujung-ujungnya negara dan masyarakatlah yang dirugikan, dank arena PA, PPK, Pokja ULP dan PPHP sudah mendapat “ucapan terima kasih” justru menjadi begitu toleran terhadap berbagai “minus” dalam pengadaan barang/jasa dan bahkan terkesan tidak berkutik untuk melakukan tugas dan kewenangannya secara benar, bertanggungjawab sesuai ketentuan yang berlaku. Apabila hal demikian dibiarkan berlarut, bencana pengadaan barang/jasa pasti akan mengemuka, “sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatuh juga dan sedalam-dalamnya menyimpan bangkai pasti akan tercium juga”, agaknya berbagai perubahan pikir, perilaku dan tindakan kita wajib segera dirubah, apapun argumentasinya bila hadiah/ucapan terima kasih tersebut terkandung suatu maksud tertentu “karena jabatanmu” maka tidak ada bedanya dengan perilaku “suap menyuap” dilakukan sebelum atau sesudahnya. Tetap saja bentuk perilaku menyimpang yang melanggar hukum, baik hokum manusia maupun hokum Tuhan, dan kini setidaknya kita perlu berhati-hati dengan ucapan terima kasih dan menjadi kewajiban bersama mengembalikan ungkapan“terima kasih” sebagai bentuk keikhlasan dan keridhoan, bahwa semua layanan dan pelaksanaan tugas dan tanggungjawab “lillahita’ala”, Insya Allah berkah.
Bahan Renungan : Rasullullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap (termasuk perantaranya), di hadis lain … dan tidaklah suatu kaum yang dipenuhi oleh tindakan suap-menyuap kecuali mereka akan dilanda oleh kecemasan, dalam hadis lain lagi disebutkan bahwa 0rang yang menyuap dan yang menerima suap akan masuk neraka. [sumber : Ensiklopedia Akhlak Muslim karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, terjemah Ahmad Dzulfikar dan Muhammad Sholeh Asri, cetakan I, Penerbit Noura Books (PT. Mizan Publika), 2014]
Rakmani, S.Sos., M.Si
Posting Komentar